MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN SEJARAH

Karakter menjadi kata yang semakin akrab di telinga kita akhir-akhir ini. Berbagai tafsiran dan gagasan kemudian muncul menyertainya, diantara tema pemikiran yang banyak diperbincangkan adalah adanya keprihatinan bahwa bangsa ini mengalami gejala kehilangan karakternya. Banyaknya kasus kekerasan, tindakan intoleransi, disintegrasi, merebaknya kasus korupsi dan menggejalanya ketidakjujuran di kalangan pemimpin adalah tema-tema berita yang acapkali menghiasi pemberitaan di hampir semua stasiun televisi di negeri ini dan sering disebut-sebut sebagai indikasi menipisnya karakter bangsa.

Bagi dunia pendidikan, dalam hal ini pendidikan sejarah, PR utamanya adalah bagaimana disiplin ilmu ini mampu memberi kontribusi dalam upaya membangun karakter melalui nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah bangsa. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah memperlihatkan bahwa kegigihan, kemandirian, saling menghormati, dan semangat persatuan merupakan karakter utama pembentuk bangsa ini. Dari rangkaian peristiwa seajarah bangsa kita dapat mempelajari bahwa nilai-nilai tersebut menjadi kekuatan bagi nasib bangsa Indonesia di kemudia hari.

Berangkat dari kondisi tersebut, pendidikan karakter menjadi penting, sebagai upaya untuk memberikan penyadaran tentang karakter bangsa dan menanamkannya dalam hati sanubari generasi penerus bangsa. Salah satu inovasi yang dikembangkan dalam praktik pembelajaran adalah memasukkan nilai-nilai karakter dalam praktik pembelajaran mulai dari penyusunan perangkat pembelajaran, proses, hingga evaluasi pembelajaran. Untuk dapat membentuk karakter, pendidikan sejarah harus diarahkan pada upaya rekonstruksi dan reaktualisasi nilai-nilai luhur dalam setiap narasi sejarah sebagai upaya penanaman karakter bangsa.

Melalui narasi sejarah peserta didik dapat diajak untuk memahami bagaimana kegigihan, patriotisme, kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan sikap nasionalisme. Memperlajari sejarah berarti membangkitkan kembali memori masa lalu yang akan mempengaruhi bagaimana kita memandang dunia pada masa kini dan masa yang akan datang.

Identitas bangsa yang diperjuangkan oleh para tokoh yang berasal dari berbagai daerah di kepulauan Nusantara mulai dari abad ke-20 pada dasarnya adalah kemandirian. Kemandirian dalam tinjauan ini merupakan kebebasan dari pengaruh bangsa lain, kemandirian secara politik, ekonomi, dan peri kehidupan lainnya. Nilai kemandirian ini dapat dikembangkan dalam pembelajaran sejarah yang dilakukan, yaitu dengan menggunakan cerita sejarah peserta didik diajak untuk memahami bagaimana kemandirian ini terbentuk dan bagaimana kemandirian ini pada akhirnya mampu membawa bangsa Indonesia pada suatu fase yang disebut kemerdekaan.

Dalam perspektif sejarah juga terlihat bahwa identitas yang dibangun oleh bangsa terjajah adalah sebuah representasi agar mereka dapat duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Hal ini mengisyaratkan adanya sebuah karakter yang dibangun para pejuang kemerdekaan yaitu kesetaraan. Nilai kesetaraan ini bila kita perhatikan dalam banyak peristiwa sejarah ternyata menjadi kekuatan mental dalam perjuangan bangsa Indonesia. Menjadi sangat relevan kiranya apabila nilai ini dikembangkan kembali dalam pembelajaran sejarah, terlebih dalam konteks kekinian ketika ketergantungan bangsa secara ekonomi kian nyata terlihat.

Tidak kalah pentingnya dalam sejarah banyak terdapat ajaran moral yang dapat dikembangkan menjadi nilai-nilai karakter. Membaca tentang sejarah pergerakan nasional misalnya, kita dapat melihat bagaimana peran generasi muda dalam perjuangan bangsa. Generasi muda dalam perjuangan ini adalah generasi muda yang memiliki kapabilitas, integritas dan moralitas yang tinggi. Keteguhan untuk memperjuangkan kepentingan bersama dan keteguhan mempertahankan idealisme juga menjadi nilai karakter yang seharusnya dikembangkan kembali pada konteks kekinian sehingga generasi muda memiliki sikap yang memperkuat kebangsaan dan tidak mudah larut dalam euphoria setiap tren kehidupan modern.

Sehubungan dengan karakter bangsa, karakter bangsa memperlihatkan semangat zaman. Misalnya pada tahun 1962 Presiden Soekarno menggagas betapa pentingnya bangsa-bangsa yang baru keluar dari penjajahan bangsa asing untuk konsisten dalam menghadapi bentuk-bentuk baru (neo-kolonialisme dan neo-imperialisme). Bagi Soekarno karakter bangsa harus ditempa oleh karena tantangan hebat yang sesungguhnya tidak pernah berhenti. Tantangan itu adalah bentuk baru ancaman kolonialisme dan imperialisme.

Sementara itu Hatta lebih menekankan tentang pentingnya mempertahankan identitas diri bangsa yang sekaligus telah menjadi karakter ekonomi bangsa Indonesia yaitu ekonomi kerakyatan. Hatta “Founding Father” Republik Indonesia, berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Apa yang diperjuangkan Hatta sebenarnya berangkat dari kondisi kultural masyarakat Indonesia yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dalam bukunya Hatta menjelaskan bahwa dalam masyarakat Indonesia terdapat kecenderungan kooperatif sosial, misalnya saja budaya gotong royong dalam mendirikan rumah, menggarap sawah, membangun jalan dan sebagainya. Ciri tersebut pada dasarnya merupakan ciri masyarakat sosialis yang memegang teguh budaya tolong-menolong dan bekerjasama (cooperative), sehingga sudah selayaknya kalau perekonomian Indonesia juga mengikuti prinsip yang dipakai dalam kooperatif sosial tersebut, yaitu kooperatif ekonomi.

Pemaparan di atas memberikan penjelasan bahwa sejarah mampu menjadi ukuran bertindak dalam kehidupan, seperti dijelaskan oleh Dilthey: life only takes on a measure of transparency in the light of historical reason. Berbagai perubahan dan keberlanjutan yang disajikan dalam penjelasan sejarah akan memberikan gambaran tentang kehidupan dan menunjukkan nilai-nilai penting yang selayaknya menjadi ukuran dalam bertindak.

Pendidikan sebagai proses pembudayaan terus mengalami perkembangan, baik dari segi sistem, pola, materi maupun strategi pedagogik pembelajaran. Dalam perkembangan tersebut seringkali terdapat banyak pengaruh dari berbagai tren yang berkembang di masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam konteks ini pendidikan adalah proses pembudayaa yang sangat dinamis dan selalu menyesuaikan diri dengan jiwa zamannya.

Jika kita amati dari perjalanan sejarah pendidikan bangsa-bangsa di dunia sebenarnya kita dapat mengetahui bahwa kebijakan dan praksis pendidikan yang dilakukan selalu berperan besar dalam membentuk karakter bangsa tersebut. Kita dapat mengetahui bagaimana pola pendidikan yang diterapkan pada masyarakat Sparta telah membentuk karakter militer dalam diri pemudanya dan menghantarkan Negara Kota tersebut menjadi sangat ditakuti. Kita juga dapat mengetahui bagaimana pola pendidikan yang diterapkan di Athena dapat membentuk para filsuf dan ilmuan terkemuka sehingga Negara Kota tersebut menjadi sangat disegani. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat membawa kemajuan peradaban dengan lebih cepat.

Dimanakah pendidikan sejarah berperan? Pendidikan sejarah berusaha menjadi jembatan antara masa lalu yang tak mungkin diamati secara langsung dengan masa kini yang melingkupi kehidupan manusia, sehingga dengan demikian serangan “lupa” tersebut dapat diminimalisir. Mempelajari sejarah berarti menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut, dan dengan menghidupkan nilai tersebut juga berarti membentuk karakter bangsa.

Dengan mempelajari sejarah didapat suatu konstruksi berpikir yang realistis-empirik, sesuai dengan fenomena sejarah yang ada. Dengan memahami sejarah setidaknya akan mendorong menjadi pribadi yang terbuka (open minded person) dan memiliki hati yang bersih dari berbagai prasangka dan penghakiman dini (early judgement). Pendidikan sejarah yang baik akan sangat menentukan apakah masyarakat yang akan datang memiliki karakter yang lebih baik dari masyarakat yang ada sekarang dan di masa lalu, ataukah sebaliknya. Dengan demikian terdapat hubungan yang sangat kuat antara pendidikan karakter dengan pendidikan sejarah.

Sartono Kartodirjo berpendapat bahwa dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sejarah yang diajarkan haruslah sejarah yang mengedepankan nilai-nilai kehidupan, bukan sejarah hapalan yang hanya menyuguhkan nama, tempat, angka tahun, dan peristiwa semata. Kendatipun unsur-unsur tersebut tidak dapat ditinggalkan dari pembelajaran sejarah, akan tetapi bukan berarti pembelajaran yang dilakukan hanya memfokuskan pada hal-hal tersebut, yang akan menjadikan pembelajaran sejarah menjadi kering dari makna dan tidak memberikan penyadaran terhadap individu pembelajar.

Pembelajaran sejarah yang baik akan membentuk pemahaman sejarah. Pemahaman sejarah merupakan kecenderungan berpikir yang merefleksikan nilai-nilai positif dari peristiwa sejarah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita menjadi lebih bijak dalam melihat dan memberikan respon terhadap berbagai masalah kehidupan. Pemahaman sejarah memberi petunjuk kepada kita untuk melihat serangkaian peristiwa masa lalu sebagai sistem tindakan masa lalu sesuai dengan jiwa zamannya, akan tetapi memiliki sekumpulan nilai edukatif terhadap kehidupan sekarang dan akan datang.

Inovasi pembelajaran sejarah sangat diperlukan untuk menjadikan mata pelajaran  sejarah sebagai media yang efektif dalam membentuk peserta didik. Inovasi harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, dimulai dari perencanaan, strategi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Inovasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pada tahap perencanaan, pengorganisasian materi harus lebih ditekankan untuk penanaman nilai-nilai karakter sesuai dengan capaian pembelajaran dan tujuan pembelajaran. Pemilihan materi ini akan menentukan seberapa banyak peserta didik memperoleh informasi. Guru dapat memodifikasi materi dengan masukkan unsur-unsur lokal dan nasional dalam sejarah yang mempunyai nilai karakter.
  2. Dalam strategi pembelajaran, sesuai dengan semangat kurikulum merdeka yang dijiwai dengan filsafat konstruktivisme, maka pembelajaran sebaiknya lebih diarahkan untuk rekonstruksi nilai-nilai karakter melalui cerita sejarah. Peserta didik diarahkan untuk menemukan nilai-nilai karakter, dan selanjutnya mengaplikasikannya dalam konteks kekinian.
  3. Evaluasi pembelajaran sejarah menekankan pada penilaian proses dan hasil belajar siswa. Hasil pembelajaran mencakup kecakapan akademik, kesadaran sejarah, dan nasionalisme. Dengan demikian evaluasi tidak hanya mencakup aspek kognitif, akan tetapi juga afektif.

Cara tersebut diharapkan menjadikan pembelajaran sejarah dapat lebih memberikan makna dan kesan bagi peserta didik. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan dapat berperan optimal sebagai upaya penyadaran terhadap jatidiri bangsa dan pada akhirnya membentuk karakter peserta didik.

Lidya Dwi Jayanti, S.Pd.

Guru Sejarah SMK Negeri 1 Kedungwuni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *